Besok Petani-Nelayan Gelar Aksi di Berbagai Daerah Desak Jokowi Pertanggungjawabkan
Konstitusionalisme Agraria

Kantorberita.co – Dalam rangka memperingati puncak Hari Tani Nasional (HTN) besok, sekitar 5.000 massa dari 130 lebih organisasi bakal turun melakukan aksi demo.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan bahwa Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) dalam aksi besok akan menuntut dan menyampaikan aspirasi kepada MPR RI untuk melakukan evaluasi menyeluruh. Pihaknya juga meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi terkait Konstitusionalisme Agraria.

“Dan meminta pertanggungjawaban Presiden RI atas penyimpangan terhadap Konstitusionalisme Agraria yang menjadi mandat UUD 1945 dan UUPA 1960,” ujar Dewi Kartika, mengutip CNN Indonesia.

Dewi menyebut ratusan organisasi yang bakal hadir terdiri dari organisasi petani, buruh, lingkungan, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin kota, perempuan, hingga mahasiswa.

“Lima ribu massa petani dan gabungan elemen rakyat dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Lampung akan bergabung pada puncak Peringatan HTN besok,” kata Dewi.

Massa aksi tani terdiri dari Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Tani Indramayu (STI), Serikat Petani Majalengka (SPM) dari Jawa Barat, Pergerakan Petani Banten (P2B), Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB), STAM Cilacap, dan STIP Pemalang dari Jawa Tengah, serta Formaster dari Provinsi Lampung.

Pada hari yang sama, sebagai puncak peringatan HTN, aksi juga akan dilakukan secara serentak di Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, NTB, dan NTT.

Dewi menjelaskan HTN ada sejak Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) disahkan pada 1960. Dalam UU tersebut negara diwajibkan mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunannya.

“Hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata dia.

Selanjutnya, terbit TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumberdaya Alam. Dalam ketetapan tersebut, MPR menugaskan DPR dan Presiden menetapkan arah dan kebijakan agraria yang sesuai dengan amanat konstitusi dan UUPA 1960.

Namun, kata Dewi, enam dekade UUPA 1960 dan dua dekade TAP MPR tidak dijalankan secara penuh dan konsekuen. Ekonomi-politik agraria menjadi semakin liberal dan menghasilan krisis agrarian serta kerusakan lingkungan.

“Tidak mengherankan, selama 17 tahun terakhir (2004-2021), 3.874 letusan konflik agraria di berbagai penjuru tanah air,” ucap dia.

Selain itu, kasus penangkapan petani, masyarakat adat, nelayan, buruh dan aktivis agraria terus terjadi. Ia mengatakan, kampung dan tanah pertanian rakyat digusur demi mega proyek pembangunan infrastruktur, food estate, pariwisata premium, bisnis tambang dan sawit terjadi di berbagai pelosok negeri.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *