Jadi Bahan Candaan & Cemoohan Pakar di Indonesia, Terdakwa Korupsi Plt Bupati Mimika Tidak Ditahan

Kantorberita.co JAKARTA – Polemik proses penegakan hukum di Papua dimana hakim telah memberikan diskresi (kebijaksanaan khusus) terhadap terdakwa korupsi plt bupati mimika Johannes Rettob yang sudah ditetapkan statusnya sebagai terdakwa korupsi oleh Pengadilan Tipokor Jayapura namun tidak kunjung ditahan. Menuai cemooh dari berbagai kalangan khususnya beberapa pakar hukum dan pakar tata negara di Indonesia.

Hal tersebut mengemuka dalam acara diskusi yang bertajuk “Polemik dalam proses penegakan hukum pemberian diskresi terdakwa korupsi di Papua” yang digelar oleh Suka Hukum dibilangan Cikini Jakarta pada sabtu (15/04/2023).

Founder Suka Hukum Subadria Nuka dalam sambutannya menyatakan fenomena ini menjadi langka dan sebuah keistimewaan tersendiri bagi koruptor.

“Seharusnya pelaku terdakwa korupsi ditahan selama proses ditingkat kejaksaan maupun di persidangan. Ini seolah-olah ada stigma pejabat tersebut kebal terhadap hukum. Dan menjadi citra buruk bagi penegakan hukum di Indonesia,” jelas Subadria Nuka.

Hal senada diungkapkan Nara Sumber lain Michael Himan, Kuasa Hukum Aliansi  Masyarakat dan Mahasiswa Papua anti korupsi. Menurutnya komitmen NKRI dan seluruh warga negara Indonesia untuk memerangi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) diuji dan dipertanyakan dalam kejadian ini, karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus diselesaikan dengan cara uar biasa.

“Faktanya, pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya di tanah Papua begitu luar biasa massif penindakannya tanpa toleransi dan kompromi. Empat pejabat orang asli Papua di antaranya Barnabas Suebu (mantan Gubernur Papua), Lukas Enembe (Gubernur Papua Nonaktif), Eltinus Omaleng (Bupati Mimika Nonaktif), dan Ricky Ham Pagawak (Bupati Mamberamo Tengah Nonaktif) telah mengalami tekanan, dikejar, ditangkap, ditahan dan sedang menjalani proses hukum tindak pidana korupsi. di tingkat penyidikan sebagai tersangka maupun menjalani proses persidangan di Pengadilan sebagai terdakwa dengan status pejabat Nonaktif,” kata Michael Himan.

Michael melanjutkan, mirisnya meskipun Lukas Enembe sakit keras namun tidak ada ampun, tidak ada toleransi sedikitpun dari negara.

“Fenomena ini sangat kontradiktif terhadap terdakwa korupsi Johannes Rettob Plt Bupati Mimika yang mendapat perlakuan sangat istimewa sehingga negara melalui Hakim Tipikor memberikan diskresi dengan tidak melakukan penahanan. Johannes Rettob bahkan bebas bertindak menjalankan pemerintahan dan mengelola APBD sebagai Plt Bupati Mimika,” ujar Michael berapi-api.

Sementara itu, aktivis hak asasi manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan bahwa Johannes terlihat istimewa di mata publik kerena tidak ditahan. Ia menilai hal itu mencederai rasa keadilan bagi publik, khususnya masyarakat papua.

“Kejaksaan Tinggi Papua menetapkan Johannes sebagai tersangka korupsi pengadaan pesawat dan helikopter. Selain Johannes, ada terdakwa lain dalam kasus ini yakni Direktur Asian One Air Silvi Herawati yang merupakan pihak ketiga dalam pengadaan pesawat Cessna Grand Caravan dan Helikopter Airbus H-125.
terdakwa dikenakan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal penjara selama 20 tahun. Namun, keduanya tidak ditahan sejak ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian menjadi terdakwa,” jelas Natalius Pigai yang menjadi salah satu panelis dalam diskusi tersebut.

Saat ini, kasus korupsi yang menjerat Johannes itu telah masuk tahap persidangan. Majelis Hakim PN Tipikor Jayapura rencananya bakal membacakan putusan sela dalam kasus Johannes ini pada Senin, 17 April 2023.

“Sebenarnya penegakan hukum di tanah Papua dilakukan secara tidak adil. Beberapa masalah hukum yang sudah di lakukan dalam perkara Pak Lukas itu tidak adil secara hukum yang terjadi ditanah papua. Padahal keadaan pak Lukas tidak sehat dan bahkan KPK datang menjemput langsung di tanah Papua. Padahal dokter dari Singapura pun datang ke indonesia untuk mengobati Lukas Enembe,” kata Saor Siagian menimpali.

Menurutnya proses penegakan hukum harus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan para penegak hukum harus bisa menunjukkan contoh hukum yang adil di Indonesia.

Sarusnnya sejak statusnya ditetapkan sebagai tersangka di Kejati Papua Plt Bupati Mimika harusnya  sudah dilakukan penahanan. Kemungkinan besar dalam kasus ini ada hal yang tidak beres. Pasalnya, Johannes Rettob saat ini sudah berstatus terdakwa dalam dugaan kasus korupsi pengadaan pesawat saat menjabat Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Mimika tahun 2015.

“Menurut saya, tidak ada alasan Kemendagri untuk tidak menonaktifkan Plt Bupati Mimika Johannes Rettob,” timpal Margarito kamis, Pakar Hukum Tata Nenagara.

Margarito berharap Mendagri tidak menggunakan alasan bahwa kalau mengonaktifkan seolah-olah pemerintahan akan lumpuh atau tidak ada orang yang menjabat.

“Dalam aturan itu, kalau dua-duanya, jabatan bupati atau wakil bupati kosong maka untuk sementara pemerintahan dilaksanakan oleh Pelaksana Harian (Plh) yaitu sekretaris daerah. Dalam beberapa hari, harus diangkat pejabat bupati. Kewenangan itu ada pada Kemendagri,” sambung Margarito Kamis.

Oleh karena itu, kata Margarito, tidak ada alasan untuk tidak melakukan pemberhentian sementara kepada Plt Bupati Mimika Johannes Rettob.

Sedangkan menurut Prof Rocky Marbun terkait dengan Diskresi tersebut, secara normatif hakim tidak memiliki landasan konstruksi ilmiah apalagi hukum dalam urusan yang logis dalam pemberian diskresi.

“Pertimbangan oleh majelis hakim tipikor Marco Wiliam Erari terhadap Terdakwa korupsi Johannes Rettob tidak ditahan dan  tetap menjalankan tugas sebagai Plt Bupati Mimika adalah alasan  yang sangat subyektif. Landasan dan instrumen hukum sangat jelas, dimungkinkan seorang tersangka tidak ditahan yaitu jika tersangka tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan tidak ada keadaan-keadaan sebagaimana terdapat dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP.
Pasal 193 ayat (2) huruf a KUHAP yang menyatakan “Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan Pasal 21 dan terdapat alasan, cukup untuk itu” pungkas Prof Rocky Marbun. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *