Kantorberita.co – Tokoh agama Pdt. Dorman Wandikbo mengungkap dugaan adanya diskriminasi dalam penanganan kasus korupsi di Papua. Hal itu diungkapkannya dalam debat publik yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih.
Pendeta Dorman kemudian mencontohkan kasus korupsi pengadaan pesawat dan helikopter oleh pemerintah Kabupaten Mimika dimana terjadi diskriminasi. Karena dalam kasus korupsi lainnya, khususnya OAP (orang asli Papua), tersangka bisa langsung ditangkap.
“Contoh kongkritnya adalah kasus Plt Bupati Mimika. Mengapa gugatan terhadap orang Papua yang terjadi dalam jumlah besar justru menjadi korban hukum,” ujarnya, Selasa (25/4/2023).
“Kenapa korban hukum ya, karena ada kepentingan, terus informasinya tidak sempurna, tapi non-Papua populer di sini. Seperti di Mimika misalnya,” lanjutnya.
Sehingga menurutnya penindakan itu nyata dan seadil-adilnya agar masyarakat Papua bisa percaya bahwa hukum itu ada untuk masyarakat adat.
“Segera keluarkan surat perintah penangkapan terhadap terdakwa agar orang Papua merasa semua orang sama,” katanya.
Selain menghadirkan Presiden GIDI Pdt. Dorman Wandikbo dan Presiden Sinode KINGMI Pdt. Benny Giyai sebagai narasumber yang juga berprofesi sebagai pengacara Dr. Josner Simanjuntak.
Pendeta Benny Giyai saat itu mengatakan melihat perlakuan yang tidak adil terhadap kasus tersebut dan mengatakan bahwa negara tidak adil terhadap orang Papua.
“Kita tahu bahwa Plt Bupati Mimika telah terlibat dalam beberapa miliar kasus hukum korupsi, tapi dia tetap bertindak sebagai Plt Bupati. Bandingkan dengan Lukas Enembe dan Ricky Ham Pagawak yang langsung ditangkap. Makanya kami minta pemerintah bertindak adil dan menegakkan hukum agar tidak tebang pilih,” ujarnya.
Praktisi hukum Dr. Josner Simanjuntak juga menekankan penanganan kasus korupsi pengadaan pesawat dan helikopter untuk Pemprov Mimika (Pemda), Johannes Rettob.
“Adapun peradilan dalam penangkapan terhadap terdakwa, apakah benar-benar ada diskriminasi atau tidak, menurut SOP (Standard Operating Procedure) Hukum Acara, sebenarnya alasan penangkapan itu mengacu pada asas hukum yang berlaku,” ujarnya.
“Tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia, cepat, mudah, dan terjangkau dalam hal penyelesaian kasus secara efektif dan efisien,” ujar Dr. Josner lebih lanjut.
Menurutnya, dalam kasus Johannes Rettob, harapan kita bersama adalah proses hukum yang obyektif.
“Jadi apakah [Johannes Rettob] harus dipenjara atau tidak, pada dasarnya tergantung subjektivitas. Berharap tidak ditangkap karena sesuatu adalah masalah,” katanya.
Dalam diskusi tersebut, Ketua BEM Uncen Salmon Wantik juga menyebutkan adanya tebang pilih dalam proses hukum, khususnya dalam kasus korupsi yang menimpa warga Papua. Katanya ada tebang pilih.
“Tindak pidana korupsi Papua, kami melihat ada tebang pilih dalam pengolahannya. Orang Papua yang masih tersangka langsung ditangkap, sementara kasus lain misalnya Gubernur Plt Mimika, tersangka lalu tersangka tapi sampai sekarang belum ditangkap,” jelasnya.
Menurutnya, ada kejanggalan dalam penanganan kasus korupsi sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap lembaga hukum.
“Ini aneh dan pelajaran hukum yang buruk untuk mengajarkan kepada masyarakat, khususnya orang Papua, bahwa hukum itu tidak adil. Kami berharap, berdasarkan pembahasan ini, penegakan hukum di Papua khususnya dalam kasus korupsi dapat dilaksanakan seadil-adilnya,” pungkasnya.**