Kantorberita.co- Jakarta, Sidang permohonan uji materi Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu yang diajukan oleh Sururudin, SH, LL.M, dari kantor hukum Din Law Group, selaku kuasa hukum dari para pemohon, kembali digelar di Pengadilan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (23/2/2023).
Sidang beragendakan, mendengarkan keterangan pihak Terkait antara lain, DPP PKS, DPP PSI, Anthony Winza Prabowo, August Hamonangan, dan Wiliam Aditya Sarana, serta Pihak Terkait Muhammad Sholeh.
Ibnu Rachman Jaya, salah seorang Pemohon menyorot soal sistem pemilu proporsional terbuka yang dikatakan negatif, karena merusak lingkungan.
“Bahwa dampak negatif dari sistem pemilu proporsional terbuka adalah soal lingkungan masyarakat yang menjadi semrawut dengan banyaknya baliho dan tidak terarah.” ujar Ibnu Rachman Jaya.
Ibnu tak sependapat dengan DPP PKS selaku pihak terkait yang mengatakan jika kesemrawutan sistem pemilu proporsional terbuka merupakan sebuah kemeriahan pesta demokrasi.
“Saya pikir terlalu mengada-ada juga bahwa kemeriahan demokrasi tidak identik dengan hal tersebut.” imbuh Ibnu.
Di lain sisi, Ibnu kembali lagi menyoal soal sistem pemilu proporsional tertutup yang diajukan bersama lima rekannya, dianggap anti demokrasi oleh pihak terkait.
“Karena antara sistem terbuka dan tertutup itu sama-sama diakui sebagai sistem pemilu demokrasi,” lanjutnya.
Soal keberatan pihak terkait terhadap status para pemohon, Ibnu kembali menegaskan bahwa hal itu juga tak masuk di akal.
“Jika mereka mempersoalkan legal standing kami sebagai pemohon yang tadi disampaikan, secara logika hukum jika tidak memenuhi kriteria maka sidang ini tidak akan digelar. Tetapi pada kenyataannya MK tetap menggelar sidang ini sampai sekarang.” pungkas Ibnu.
Seperti diketahui, Sistem Pemilu dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 saat ini digugat ke MK oleh 6 orang karena dianggap bertentangan dengan UUD. Mereka adalah:
Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP)
Yuwono Pintadi (anggota Nasdem tapi NasDem sebut sudah bukan anggota)
Fahrurrozi
Ibnu Rachman Jaya
Riyanto
Nono Marijono
Para pemohon mendalilkan bahwa sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dengan partai politik.
Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili partai politik namun mewakili diri sendiri.
“Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai,” ucap kuasa hukum pemohon, Sururudin.
Sistem terbuka juga dianggap membuat biaya politik sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks. Yakni, menciptakan model kompetisi antarcaleg yang mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan.
Setelah gugatan ini menjadi polemik, 8 partai politik yakni Golkar, Demokrat, PKB, NasDem, PKS, Gerindra, PAN, dan PPP menyatakan menolak Pemilu proporsional tertutup.
Bahkan NasDem dan PKS mengajukan diri menjadi pihak terkait dalam gugatan ini.
Sementara Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, pemerintah tidak akan bersikap dalam gugatan ini. Pemerintah akan menunggu dan menjalankan putusan MK.*alm*