Sidang Uji Materi UU Pemilu: Pemohon Tak Setuju Saksi Terkait Bandingkan Sistem Pemilu di Indonesia dengan Eropa

Kantorberita.co – Sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar pada Selasa (9/5/2023) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK).

Agenda sidang mengetengahkan mendengar keterangan ahli yang dihadirkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) selaku Pihak Terkait dalam perkara Nomor 114/PUU-XX/2022. Selain menghadirkan Firman Noor, Perludem juga menghadirkan ahli Charles Simabura.

Usai mendengarkan keterangan ahli dari pihak Terkait, kuasa hukum Sururudin yang mewakili para pemohon antara lain Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono, tak sependapat dengan keterangan yang disampaikan saksi ahli Firman Noor.

Dimana dalam pemaparan di hadapan sembilan Hakim MK yang dipimpin oleh Anwar Usman, Firman Noor berusaha membandingkan sistem Pemilu di Indonesia dengan negara-negara Eropa maupun Skandinavia.

“Kami bantah keterangan dari Firman Noor sendiri. Dia akhirnya sadar bahwa dia tidak mengarahkan kita ke proses terbuka dengan tradisi negara-negara Eropa.” ujar Sururudin di Gedung MK.

Sururudin juga tak sependapat dengan keterangan ahli Terkait soal sistem proporsional terbuka yang didalamnya terdapat kompetisi yang begitu bebas, sehingga hal tersebut mengarah ke liberalisme sistem Pemilu sebuah negara.

“Menurut kami dari keterangan saksi ahli Terkait, mereka cenderung membawa sistem Pemilu ini ke arah Liberalisme di Indonesia. Mereka begitu mendukung bahwa sistem proporsional terbuka dengan kompetisi yang begitu bebas, itu kan tidak sesuai dengan ideologi bangsa kita.” tandasnya.

Pihak Pemohon menandaskan bahwa sistem proporsional tertutup sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia, karena tidak menjiplak sistem Pemilu di negara-negara Eropa.

“Justru kita harus mencari jati diri kita yang juga diamini oleh ahli Charles Simabura bahwa kita perlu sistem yang sesuai dengan bangsa kita, Kosmologi bangsa kita yang luas dari Sabang sampai Merauke. Jadi tidak memaksakan dari jiplakan-jiplakan negara di Eropa atau negara-negara yang tidak sesuai dengan kosmologi bangsa kita.” sambungnya.

Sementara itu, Firman Noor yang merupakan peneliti pada Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam keterangannya menyebutkan beberapa prinsip mengenai beberapa sistem pemilu yang demokratis.

Di antaranya, pemilu dapat memberikan pilihan yang terbaik bagi rakyat dimana pilihan-pilihan yang ada itu dipaparkan di depan rakyat dengan kelengkapan informasi yang seluas-luasnya.

“Menurut Institute for democracy and Electoral Assistance dalam kajiannya international obligations for elections guidelines for legal frameworks, persoalan transparansi dan hak mendapatkan informasi ini menjadi salah satu poin penting dalam pelaksanaan pemilu yang demokratis. Ini berarti tanpa adanya kelengkapan informasi dan pengetahuan yang menyeluruh akan seorang wakil rakyat maka terbuka peluang kemungkinan munculnya sosok yang tidak mewakili pilihan rakyat,” terangnya secara daring ke hadapan sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.

Terkait dengan keterwakilan, sambung Firman, salah satu hal mendasar yang menjadi kritik utama atas sistem proporsional tertutup khususnya terkait dengan masalah tingkat keterwakilan adalah kurang menjamin terbangunnya kedekatan antara caleg dengan konstituennya.

Sistem ini kurang menjamin konstituen untuk mengetahui latar belakang dan kapabilitas caleg yang akan mewakili mereka.

Terdapat potensi terjadinya situasi membeli kucing dalam karung bagi pemilih. Di sisi lain, para caleg pun bisa jadi tidak terlalu memahami konstituen atau kondisi wilayah yang diwakilinya mengingat terbatasnya intensitas hubungan mereka dengan para pemilih.

“Padahal kedekatan itu syarat utama dari perwakilan rakyat yang merupakan sokoguru dari demokrasi dan esensi adanya pemilu itu sendiri. Oleh karena itu dalam sistem proporsional tertutup maka perwakilan rakyat menjadi ambigu karena bisa jadi caleg lebih mewakili kepentingan partai ketimbang konstituennya,” lanjut Firman Noor.

Dampak Positif bagi Parpol
Sistem proporsional terbuka memiliki beberapa dampak positif bagi keberadaan partai politik khususnya terkait demokrasi internal, kelembagaan dan pelaksanaan fungsi partai politik. Sistem proporsional terbuka memiliki beberapa dampak positif bagi kelembagaan partai politik.

Sistem ini jauh dari anggapan akan melemahkan partai politik. Sebaliknya sistem ini berpeluang besar dalam mempertahankan demokrasi internal partai dan menguatkan kelembagaan partai serta mendorong pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik.

Terkait dengan demokrasi internal, sistem proporsional terbuka memberikan peluang kader-kader partai politik untuk tetap memiliki daya tawar yang baik dari kecenderungan pemaksaan elit atau pimpinan partai.

Keberhasilan seorang kader membangun hubungan baik dengan konstituennya maka dia memiliki daya tawar untuk tidak mudah disingkirkan dari daerah pemilihan (dapil)-nya.

Pergantian begitu saja seseorang dalam sebuah dapil apalagi dengan kader yang jauh tidak dikenal masyarakat akan membawa risiko menurunnya jumlah dukungan dan akhirnya kursi partai di daerah itu.

“Oleh sebab itu dalam situasi ini kader tetap bisa bersikap kritis demi kebaikan partai tanpa khawatir akan tersingkir dari dapil atau posisinya di partai,” terang Firman Noor.

Dalam situasi ini pula peluang terciptanya demokrasi internal partai menjadi lebih terbuka mengingat kekuasaan pimpinan terimbangi oleh kapabilitas dalam membangun basis dukungan bagi partai dan dirinya. Kader yang bekerja keras dengan sendirinya akan memiliki daya tawar yang kuat untuk dapat mempertahankan posisi politiknya. Bahkan dapat pula memberikan masukan dengan lebih leluasa kepada partainya tanpa perlu khawatir.

Pengaturan Sistem Pemilu
Pakar hukum tata negara Charles Simabura dalam kesempatan ini mengakui sistem pemilu Indonesia memang tidak diatur dalam konstitusi. Hal ini setidaknya diakui oleh MK. Salah satunya adalah dalam Putusan MK Nomor 47/PUU-XVII/2019 yang menyatakan secara konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 tidak menentukan model sistem pemilihan umum.

Penentuan terhadap sistem pemilu yang akan digunakan merupakan ranah pengaturan undang-undang sebagai pelaksanaan UUD 1945.

Secara umum sistem pemilu legislatif atau pemilihan umum untuk anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota menganut model sistem proporsional terbuka. Penting untuk ditegaskan, sistem pemilu adalah pondasi utama dalam penyelenggaraan pemilu.

Artinya jika hendak mempersiapkan segala sesuatu tentang pemilu terutama kerangka hukum tentang pemilu, sistem pemilulah  yang semestinya disepakati lebih dahulu.

“Sebab pilihan terhadap sistem pemilu menurut ahli akan memberikan dampak terhadap pengaturan kerangka hukum lainnya,” kata Charles.

Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 114/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Pemilu diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.

Para Pemohon mendalilkan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) hutuf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), Pasal 426 ayat (3) bertentangan dengan UUD 1945.

Saat sidang pendahuluan di MK pada Rabu (23/11/2022), para Pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut yang berkenaan dengan sistem pemilu proporsional berbasis suara terbanyak, telah bermakna dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.
Selain itu, menurut Pemohon bahwa pasal-pasal tersebut telah menimbulkan individualisme para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan.

Sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual total dalam pemilu. Mestinya kompetisi terjadi antarpartai politik di area pemilu. Sebab, peserta pemilu adalah partai politik bukan individu seperti yang termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Para Pemohon dirugikan karena pasal-pasal tersebut mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak karena telah menjadikan pemilu menjadi berbiaya sangat mahal dan melahirkan masalah yang multikompleks.

Sistem proporsional terbuka dinilai Pemohon menciptakan model kompetisi antarcaleg dalam pemilu yang tidak sehat karena mendorong caleg melakukan kecurangan termasuk dengan pemberian uang pada panitia penyelenggara pemilihan, sehingga apabila pasal-pasal tersebut dibatalkan akan mereduksi praktik politik uang dan membuat pemilu lebih bersih, jujur, dan adil.

Di samping itu, sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak ini juga berbiaya tinggi sehingga memakan biaya yang mahal dari APBN, misalnya membiayai percetakan surat suara untuk pemilu anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Selain itu, para Pemohon dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menyatakan frasa “terbuka” pada Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.**

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *